TOLERANSI BERAGAMA DALAM ISLAM
A.
Pendahuluan
Ikhtilaf (perbedaan) dan tanawwu’ (keberagaman) adalah
fitrah yang Allah SWT. berikan atas penciptaan manusia di bumi. Alquran dengan
jelas menyebutkan realitas perbedaan manusia dalam berbagai hal.
Muhammad Rasyid Ridha menerangkan bahwa Allah SWT. memang
menghendaki adanya ikhtilaf di antara manusia dengan menjadikan mereka dalam
kondisi yang siap untuk menerima perbedaan tersebut. Tingkat kesiapan antara
satu dengan yang lain tentunya memiliki kadar yang berbeda, tergantun dengan
ilmu, pengetahuan, pendapat, dan perasaan yang mereka miliki.[1] Perbedaan
akan mengantarkan manusia kepada kesengsaraan jika disikapi dengan kebodohan.
Dan sebaliknya akan membimbing kepada rahmat jika dipersiapkan dengan
pengetahuan.
Manusia adalah makhluk sosial. Ia membutuhkan keberadaan manusia
yang lain. Dengan demikian, interaksi menjadi sebuah keniscayaan. Interaksi
antar manusia, kelompok atau antarnegara tidak terlepas dari kepentingan,
penguasaan, permusuhan bahkan penindasan. Manusia merupakan makhluk konflik
(homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan,
pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa. Dengan adanya
potensi konflik dalam diri setiap manusia, maka diperlukan kemampuan memanage
perbedaan sehingga tidak mengakibatkan tindakantindakan yang anarkis dan
destruktif.
Agama mempunyai peran strategis dalam sebuah konflik sosial. Hal
ini dikarenakan agama merupakan the deepest element (elemen yang paling
mendasar) dalam budaya dan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu, agama juga bersifat fungsional dan disfungsional. Agama bersifat
fungsional artinya agama mampu memenuhi fungsi sosial, seperti ketentraman
psikologis, kohesi sosial, sakralisasi struktur sosial yang memelihara
keseimbangan internal sebuah masyarakat. Sedangkan Agama bersifat disfungsional
yakni agama memiliki kekuatan untuk menceraiberaikan, menghancurkan jika agama
digunakan untuk mengembangkan sentiment dalam sebuah konflik sosial.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, konflik sosial bernuansa agama
merupakan ancaman terbesar terhadap integrasi bangsa. Sejak zaman reformasi
telah terjadi beberapa kali tindakan kekerasan yang mengancam eksistensi
keberagaman dan perbedaan. Berdasarkan kajian yang dilakukan United Nations
Support Facility For Indonesia Recorvery (UNSFIR) antara tahun 1990 hingga
2003, menunjukkan sejumlah 10.758 orang tewas akibat kekerasan antar kelompok
di 14 provinsi. Jumlah korban terbanyak di provinsi Maluku, Maluku utara,
Kalimantan barat, dan Jakarta.[2]
Konflik bernuansa agama ini bisa diredam jika masing-masing umat beragama menginternalisasikan nilai toleransi dalam kehidupannya. Toleransi merupakan sesuatu hal yang penting. Toleransi dapat membantu menjaga masyarakat bersama-sama, bahkan dalam menghadapi konflik yang intens. Jika ketaatan umum aturan kesetaraan dan toleransi, maka konflik dapat ditangani dengan cara damai. Toleransi merupakan bagian dari hak-hak sipil dimana individu-individu dapat harapkan di alam demokrasi.7 Menurut Muhammad Imarah, tasâmuh (toleransi) merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri kekerasan dan menyiptakan kedamaian di tengah-tengah keberagaman. Merupakan sesuatu hal yang mustahil terwujudnya sebuah kerukunan diantara pluralitas perbedaan tanpa adanya sebuah toleransi.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Toleransi
Toleransi secara etimologi disebutkan dalam
KBBI yaitu sesuatu yang bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri. Sedangkan dalam khazanah pemikiran Islam, kata toleransi
biasa disebut dengan terma tasâmuh. Kata tasāmuh menurut Ibnu Faris berasal
dari kata samaha yang artinya suhūlah yaitu mudah. Menurut Fairuz Abadi kata
tersebut berasal dari kata samuha berarti jāda yaitu bermurah hati dan karuma
yaitu mulia. Sedangkan menurut Ibnu Mandzur kata simāh dan samāhatun berarti
al-jūd yaitu murah hati.[3]
Toleransi secara terminologi
didefinisikan Abu A’la Maududi, yaitu suatu sikap menghargai kepercayaan dan
perbuatan orang lain meskipun hal tersebut merupakan sesuatu keliru menurut
pandangan kita. Kita tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan pemaksaan untuk
mengubah keyakinannya, atau dengan menghalang-halangi mereka melakukan sesuatu.
Sedangkan menurut Thohir Ibnu ‘Asyur, toleransi adalah sebuah keluwesan dalam
bermuamalah dengan i’tidâl (seimbang) yaitu sikap wasathi (pertengahan) antara
tadhyîq (mempersuit) dengan tasâhul (terlalu memudahkan).
2.
Toleransi
Pada Masa Nabi
Ajaran Islam hadir sebagai petunjuk
keselamatan bagi umat manusia. Rasulullah Saw. diutus untuk menyampaikan
risalah Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Pada permulaan dakwah, beragam
respon yang muncul dari masyarakat Arab terhadap ajaran Islam. Ada beberapa
orang yang menerima, akan tetapi mayoritas menolak dan bahkan memberikan
perlawanan dengan berbagai macam cara. Nabi Muhammad menghadapi penolakan
tersebut dengan mengedepankan prinsip akhlak yang mulia. Kebebasan beragama
merupakan prinsip dalam membina hubungan antar manusia.
Kebebasan beragama berarti menghargai penganut
agama lain untuk menjalankan ibadah dan kepercayaannya. Pada awal mula hijrah
ke Madinah, hal pertama yang dilakukan Nabi Muhammad yaitu mempersatukan
masyarakat Yatsrib untuk membuat kesepatan bersama yang dikenal dengan Piagam
Madinah. Kesepakatan ini bertujuan untuk bersamasama mempertahankan wilayah
mereka dari setiap ancaman, dan juga untuk melindungi kebebasan beragama dan
beribadah.
Piagam Madinah mempersatukan umat
Islam dan Yahudi untuk terikat janji untuk saling menjaga keamanaan kota
Yastrib. Dalam perjanjian itu juga ditetapkan dan diakuinya hak kemerdekaan
tiap-tiap golongan untuk memeluk dan menjalankan agamanya. Kesepakatan ini
merupakan salah satu perjanjian politik yang memperlihatkan kebijaksanaan dan
toleransi Nabi Muhammad saw. Perjanjian tersebut menjamin hak-hak sosial serta
hak religius untuk orang-orang Yahudi dan Muslim yang sama dan dalam tugastugas
tertentu. Instrumen ini sesungguhnya memperkuat status religius, sosial dan
politis orang-orang Yahudi dalam masyarakat.
Dalam kehidupan sosial, Rasulullah
mengajarkan kepada pengikutnya untuk berinteraksi dengan non-muslim dengan
mengedepanan prinsip kemanusiaan, kebaikan dan keadilan. Seperti yang terjadi
antara Asma binti Abu Bakar dengan ibunya, Qutailah. Suatu ketika Qutailah,
datang untuk mengunjungi putrinya dengan membawakan beberapa hadiah. Namun
Asma’ tidak menerima pemberian tersebut, karena ibunya adalah seorang
musyrikah. Kemudian turun wahyu Surah al-Mumtahanah: 8 yang memerintahkan untuk
berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi umat Islam.[4]
3.
Ajaran
Toleransi dalam surah Yunus ayat 40-41
وَمِنْهُمْ مَّنْ يُّؤْمِنُ بِهٖ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّا
يُؤْمِنُ بِهٖۗ وَرَبُّكَ اَعْلَمُ بِالْمُفْسِدِيْنَ ࣖ -٤٠
Artinya: “Dan di antara mereka ada
orang-orang yang beriman kepadanya (Al-Qur'an), dan di antaranya ada (pula)
orang-orang yang tidak beriman kepadanya. Sedangkan Tuhanmu lebih mengetahui
tentang orang-orang yang berbuat kerusakan.”
وَاِنْ كَذَّبُوْكَ فَقُلْ لِّيْ
عَمَلِيْ وَلَكُمْ عَمَلُكُمْۚ اَنْتُمْ بَرِيْۤـُٔوْنَ مِمَّآ اَعْمَلُ وَاَنَا۠
بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تَعْمَلُوْنَ - ٤١
Artinya: “Dan jika mereka (tetap)
mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah, “Bagiku pekerjaanku dan bagimu
pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan dan
aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Tafsir ayat 40 menjelaskan terbaginya umat manusia ke dalam
dua golongan. Ada golongan yang beriman kepada Allah dan golongan yang tidak
beriman. Golongan yang beriman akan mengikuti apa yang disampaikan Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan yang tidak beriman akan mendapatkan balasan dari Allah.
Tafsir ayat 41 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada
Rasulullah untuk terus menyampaikan ajarannya. Bagi yang orang-orang musyrik
dan tetap mendustakan Rasulullah akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat
kelak.
Kandungan
ayat diatas antara lain sebagai berikut:
a.
Dalam mengimani Al Quran, manusia terbagi menjadi dua golongan.
Ada yang beriman dan ada yang tidak beriman.
b.
Allah Maha Mengetahui siapa yang berbuat kerusakan. Yakni
orang-orang yang tidak beriman.
c.
Allah memerintahkan
Rasulullah dan kaum muslimin agar menjauhi orang yang mendustakan Al Quran dan
menjauhi perbuatan mereka.
d.
Allah memerintahkan Rasulullah dan kaum muslimin untuk berlepas
diri dari perbuatan orang-orang yang tidak beriman.
e.
Setiap amal akan ada konsekuensi dan balasannya. Amal baik
membawa ke surga, amal buruk menyeret ke neraka.
f.
Surat Yunus ayat 40-41 ini merupakan pengarahan dari Allah untuk
menghadapi orang yang tidak beriman tanpa kekerasan, tetapi mengedepankan
akhlak mulia.
4.
Implementasi
Toleransi dalam Masyarakat Indonesia
Berdasarkan kajian atas ayat Alquran dan hadis nabi berkenaan
tentang konsep toleransi dalam Islam, dirumuskan tiga nilai dasar yaitu
al-hurriyah al-dîniyyah (kebebasan beragama), al-insaniyyah (kemanusiaan), dan
alwashatiyyah (moderat). Ketiga nilai toleransi Islam tersebut dipergunakan
untuk model implementasi toleransi di masyarakat Indonesia.
Pertama, implementasi al-hurriyah al-dîniyyah (kebebasan beragama).
Kebebasan beragama merupakan hak yang dimiliki setiap manusia yang paling
asasi. Dalam prinsip maqhâshid al-syarîah, hifdzu al-dîn (menjaga agama)
disebut sebagai asas pertama dalam tujuan pensyari’atan. Dalam Undang-Undang
Dasar 1945, kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia dan dijamin
pelaksanaannya oleh negara. Pasal 29 ayat 2 disebutkan: “negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Terwujudnya kebebasan beragama merupakan syarat utama dalam membina
kehidupan yang toleran dan harmonis antar sesama. Kebebasan beragama meliputi
kebebasan untuk meyakini dan menjalankan prinsip agamanya dengan aman dan tanpa
intimidasi. Ketiadaan kebebasan beragama dalam kehidupan akan mengantarkan
masyarakat kepada terjadinya konflik sosial.
Faktanya implementasi kebebasan beragama di Indonesia belum begitu
menggembirakan. Masih banyak didapati konflik-konflik horizontal diantara masyarakat,
baik konflik internal umat Islam maupun konflik antar pemeluk agama. Konflik
yang paling hangat yaitu antara pengikut aliran Syi’ah dan Ahlusunnah, serta
persekusi terhadap jama’ah Ahmadiyah. Sedangkan konflik antar pemeluk agama
lebih banyak antara umat Islam dan Kristen.
Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh the Wahid Institute
tahun 2013 tentang “Kebebasan Beragama” menyebut sepanjang Januari-Desember
2013 terdapat sebanyak 245 kasus atau peristiwa intoleransi. Dari intimidasi,
penyesatan, pelarangan, hingga serangan fisik. Tahun 2012, kasusnya berjumlah
278 pelanggaran. Sedangkan pada tiga tahun sebelumnya berturutturut sebanyak
121 (2009), 184 (2010), dan 267 (2011). Sedangkan menurut Franz Magnis Suseno,
pada tahun 90-an ada sekitar 600 gereja yang dirusak. Selain itu juga terdapat
serangan-serangan terhadap gereja-gereja di Situbondo, Tasikmalaya,
Rengasdengklok, dan juga di wilayah lainnya.[5]
Negara harus hadir menjamin terlaksananya kebebasan beragama sesuai
amanat UUD 1945, terutama kepada kelompok minoritas. Hal ini dikarenakan,
mereka paling rentan dirampas kebebasan beragamanya. Selain itu, pemerintah
juga perlu memfasilitasi terselenggaranya dialog dan diskusi internal agama,
ataupun antar pemeluk agama. Dengan dialog akan membuka simpul-simpul keruwetan
hubungan antar sesama. Munculnya konflik bisa jadi disebabkan problem
komunikasi. Banyak kasus konflik terjadi hanya dikarenakan adanya problem
komunikasi. Misalnya pendirian tempat ibadah dan pelaksanaan ritual keagamaan
di suatu tempat yang bisa jadi membuat tidak nyaman masyarakat sekitarnya.
Dengan berdialog dapat menghilangkan hambatan komunikasi, serta ditemukannya
solusi yang mutual understading (saling pengertian).
Berdialog berbeda dengan berdebat. Dialog mencoba untuk menemukan
kalimatun sawâ (titik temu), bukan titik beda. Sedangkan berdebat sering
menjurus kepada sikap superioritas dan mempertahankan argumentasi yang besifat
apologis. Kadang debat bukan mengurai masalah, justru memperlebar masalah.
Debat tentunya lebih tepat jika diselenggarakan dalam kerangka ilmiah dan
akademik, dan bukan menjadi konsumsi publik. Karena masyarakat umum bisa jadi
awam terhadap beragam teori dan konsep yang berbeda. Sehingga dikhawatirkan
akan memunculkan salah faham. Kedua, implementasi al-insâniyyah (kemanusiaan).
Agama Islam datang membawa visi kemanusiaan. Visi Islam tentang
kemanusiaan universal terlihat dari tujuan diutusnya Nabi Muhammad Saw. seperti
yang disampaikan dalam Surah al-Anbiya ayat 21 yaitu wa ma arsalnâka illa
rahmatan lil ‘âlamin (tidaklah Aku mengutusmu wahai Muhammad kecuali sebagai
rahmat bagi seluruh alam). Kerahmatan yang diberikan bukan hanya terbatas
kepada umat Islam, tetapi juga kepada seluruh penduduk di alam semesta. Agama
merupakan aspek transenden yang mengajarkan tentang nilai moralitas yang tinggi
untuk mengatur kehidupan manusia. Agama mengatur kehidupan antar manusia dalam
pigura humanitas. Mementingkan manusia merupakan inti dari ajaran Islam. Oleh
karena itu, di dalam teks Islam secara ontologis mengajarkan tentang humanitas
yang rahmatan lil alamin. Islam datang dengan membawa misi kemanusiaan.
Ajarannya menekankan kepada semangat egalitarianisme atau persamaan rasa
kemanusiaan sebagai bentuk perlawanan terhadap perbudakan dan kejahatan
kemanusiaan. Pada masa Jahiliyah, manusia kelas rendah mendapatkan perlakuan
yang tidak manusiawi. Mereka hanya dihargai setingkat lebih tinggi dari hewan.
Mereka diperjual belikan oleh para tuannya.
Masyarakat Indonesia dahulu
juga merasakan nasib sebagai bangsa yang tertindas. Kemanusiaannya dirampas
oleh para kaum penjajah. Saat ini, seluruh masyarakat Indonesia telah menikmati
kemerdekaan. Maka sebagai sesama anak bangsa haruslah mendapatkan kesetaraan
hak menikmati kemerdekaan. Meskipun umat Islam menjadi penduduk mayoritas di
negeri ini, bukan berarti kemerdekaan Indonesia hanya menjadi milik pribadi
umat Islam saja. Kemerdekaan juga milik semua bangsa yang terdiri atas beragam
suku, agama, dan golongan. Salah satu bentuk kemerdekaan tersebut yaitu
implementasi nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana yang tercantum dalam
Pancasila sila kedua yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Sebagai penduduk mayoritas
di Nusantara semestinya umat Islam tidak lagi sibuk mempersoalkan hubungan
Islam, ke-Indonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga konsep itu haruslah ditempatkan
dalam satu bingkai, sehingga Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah sebuah
Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap
masalahmasalah besar bangsa dan negara. Sebuah Islam yang dinamis dan yang
memberikan keadilan dan perlindungan kepada semua orang di negeri ini tanpa
diskriminasi, apa pun agama yang diikutinya atau tidak diikutinya. Dan
sebaliknya, Islam akan terlihat menakutkan jika ditampilan dengan wajah garang
oleh segelintir orang dengan penuh retorika kebencian, dan berbicara atas nama
Tuhan.[6]
Ketiga, implementasi al-washathiyyah (moderatisme). Sikap dan
perilaku intoleransi berhubungan erat dengan nalar epistemologi seseorang. Jika
diidentifikasi beberapa aksi anarkisme dan terorisme yang terjadi di Indonesia,
memiliki tipologi yang hampir serupa, yaitu berakar pada ideologi radikalisme.
Radikalisme, anarkisme, dan terorisme merupakan tiga hal yang saling berhubungan
erat. Ketiganya juga merupakan sumber masalah munculnya intoleransi. Maka untuk
mencegah paham tersebut, perlu selalu dikampanyekan tentang pentingnya Islam
moderat.
Ideologi radikalisme agama saat ini memang sedang menuai zamannya,
setelah sekian lama gerakan ini dicekal di era Orde Baru. Ketika dikembangkan
nuansa politik keterbukaan, mereka juga berlomba untuk mengaktualkan diri
secara maksimal. Kehadirannya juga tidak dapat ditolak oleh siapa pun. Dengan
strategi membaur dengan masyarakat, mereka bisa melakukan penetrasi ke jantung
institusi keagamaan, sosial, dan politik.37 Diantara ciri-ciri radikalisme
sebagaimana yang disampaikan oleh Syahrin Harahap, yaitu pertama, tekstualis
(literalis), kaku (rigid) dalam bersikap dan memahami teks-teks suci. Cara
memahami teks yang rigid dan tekstualis itu mengakibatkan kesimpulan yang
melompat (jumping to conclusion). Kedua, ektrem, fundamentalis dan ekslusif.
Hal ini didasarkan pada sikapnya yang kaku dan tidak terbuka terhadap ruang
dialog dan kompromi. Pandangan ini beranggapan bahwa doktrin merupakan inti
agama yang paripurna. Ketiga, anarkisme yang menghalalkan kekerasan untuk
mencapat tujuan. Keempat, tauhidiyyah hakimiyyah, mudah menghakim orang lain
dengan label kafir.
C.
Penutup
Hidup aman dan damai merupakan cita-cita dari seluruh umat manusia.
Maka untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan konsep toleransi. Dalam Islam,
konsep toleransi tersebut diinternalisasikan melalui interpretasi terhadap
Alquran dan hadis. Dalam membaca keduanya tidak bisa hanya semata dari sisi
tekstualnya saja. Tetapi juga perlu diperhatikan antara teks dan realitas
sosial. Dari interpretasi terhadap teks-teks tersebut disimpulkan tiga konsep
dasar toleransi menurut Islam, diantaranya adalah kebebasan beragama
(al-hurriyyah al-dîniyyah), kemanusiaan (al-insâniyyah), dan moderatisme
(al-washatiyyah).
Masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim perlu
mengimplementasikan ketiga konsep tersebut dalam kehidupan bermasyarakat,
sehingga terwujudlah toleransi antar sesama. Terwujudnya toleransi beragama
tidak mungkin tiba-tiba turun dari langit. Seluruh pihak termasuk tokoh agama,
pemerintah dan masyarakat memiliki andil dalam mewujudkan situasi yang aman dan
damai. Para tokoh agama perlu menyampaikan pemahaman keagamaan yang moderat,
inklusif yang siap menerima perbedaan dan keragaman dalam kehidupan ini.
Masyarakat perlu membekali diri dengan kemampuan literasi informasi, sehingga
tidak mudah diprofokasi. Pemerintah juga harus memainkan peran sosial dalam
mewujudkan kehidupan yang toleran dengan menjamin terwujudnya kebebasan
beragama dan menindak tegas para pelaku anarkis dan teroris.
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid Ridha, Tafsîr al-Mannâr, (Dar al-Mannar: Kairo, 1984), juz.
11
Hasrullah, Dendam Konflik Poso (Periode 1998-2001), (Jakarta,
Kompas Gramedia: 2009)
Abdul Latif bin Ibrahim, Tasāmuh al-Gharb Ma’a al-Muslimin Fi
al-Ashri alKhādhir: Dirōsah Naqdiyyah Fi Dhoui al-Islam
Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia, (Yogyakarta:
Kanisius, 2009)
Ahmad Syafi’I Maarif, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009)
[1]
Rasyid Ridha, Tafsîr al-Mannâr, (Dar al-Mannar: Kairo, 1984), juz. 11, hlm.
194.
[2]
Hasrullah, Dendam Konflik Poso (Periode 1998-2001), (Jakarta, Kompas Gramedia:
2009), hlm. 8.
[3]
Abdul Latif bin Ibrahim, Tasāmuh al-Gharb Ma’a al-Muslimin Fi al-Ashri
alKhādhir: Dirōsah Naqdiyyah Fi Dhoui al-Islam, hlm. 23.
[4]
Jalaluddin al-Suyuthi, Lubâb al-Nuqūl ..., hlm. 260-261.
[5]
Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2009),
hlm. 50.
[6]
Ahmad Syafi’I Maarif, Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah
Refleksi Sejarah, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009), hlm. 15.
0 Komentar