Teori Fusion of Horizon

 

Teori “Penggabungan Horison (Fusion of Horizons)” Gadamer

Oleh: Miftahul Hafid Muhammad (53020190107)

Hans Georg Gadamer, seorang filosof besar asal Jerman yang meninggal pada tanggal 14 Maret 2002, merupakan tokoh besar hermeneutik yang berusaha mendialogkan kebenaran historis atau kebenaran kontekstual dengan kebenaran historis atau kebenaran obyektif. Menurut Gadamer, dalam membaca teks, setiap orang selalu berangkat dari pra-pemahaman (pre-understanding) yang dimilikinya. Prapemahaman yang dimiliki seorang reader akan selalu memainkan peran ketika ia membaca suatu teks. Secara praktis, prapemahaman ini diwarnai oleh tradisi ruang dan waktu dimana si reader berada, dan perkiraan awal (pre-judice) yang terbentuk dalam tradisi-tradisi tersebut.

Menurut Gadamer, prapemahaman harus selalu ada ketika pembaca menafsirkan teks, agar ia mampu mendialogkan tradisi yang ada pada diri pembaca (baca: prapemahaman) dengan tradisi yang ada pada diri objektif teks itu sendiri. Pada prosesnya, reader harus selalu berusaha memperbarui prapemahamanya. Inilah yang dimaksud Gadamer dengan penggabungan atau asimilasi horison (fusion of horizons). Berdasarkan teori ini, proses penafsiran redaer terhadap suatu teks selalu dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison yang ada di dalam teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison reader. Kedua macam horison ini selalu berdialektika dalam proses pemahaman dan penafsiran. Seorang pembaca teks akan memulai pemahaman dengan cakrawala hermeneutiknya, dari prapemahaman yang dimilikinya. Namun, dia juga memperhatikan bahwa teks yang dia baca mempunyai horisonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca. Dua bentuk horison ini, menurut Gadamer, harus dikomunikasikan, sehingga ketegangan di antara keduanya dapat diatasi. Oleh karena itu, ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu, maka dia harus memperhatikan horison historis di mana teks tersebut diproduksi (baca: diungkapkan atau ditulis).

Seorang reader harus memiliki keterbukaan untuk mengakui adanya horison lain, yakni horison teks yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan horison pembaca. Dalam hal ini, Gadamer menegaskan, “Saya harus membiarkan teks masa lalu berbicara (memberikan informasi tentang sesuatu). Hal ini tidak semata-mata berarti sebuah pengakuan terhadap ‘keberbedaan’ masa lalu, tetapi juga bahwa teks masa lalu mempunyai sesuatu yang harus dikatakan kepadaku.” Intinya, memahami sebuah teks berarti membiarkan teks yang dimaksud berbicara.

Interaksi di antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran hermeneutik” (hermeneutical circle). Menurut Gadamer, horison pembaca hanya berperan sebagai titik berpijak seseorang dalam memahami teks. Titik pijak pembaca ini hanya merupakan sebuah “pendapat” atau “kemungkinan” bahwa teks berbicara tentang sesuatu. Titik pijak ini tidak boleh dibiarkan memaksa pembaca agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya, titik pijak ini justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh teks. Dalam proses ini terjadi pertemuan antara subjektivitas pembaca dan objektivitas teks, di mana makna objektif teks harus lebih diutamakan oleh pembaca atau penafsir teks.

Hermeneutika Gadamer menjadi salah satu tawaran alternatif untuk memahami teks secara proporsional. Salah satu gagasannya yaitu fusion of horizon dapat diaplikasikan untuk memahami setiap teks termasuk teks kitab suci. Karenanya, pemahaman adalah suatu tindakan aktif dan terus bergerak tidak pernah final sesuai dengan horizon yang mengitarinya.

Sikap terbaik untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif adalah pertama, kemauan terbuka untuk menerima gagasan dan wawasan baru. Hal ini penting untuk memperluas cakrawala seseorang sehingga ia dapat menjangkau hal-hal yang lebih luas lagi. Kedua, menghasilkan pemahaman baru atau memproduksi sesuatu yang baru. Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa kebaruan gagasan tidak dapat diperoleh tanpa memahami sejarah masa lampau.

Ketiga, pemahaman yang efektif bukanlah pemahaman yang berdiri sendiri, justru pemahaman yang valid adalah pemahaman yang bersumber dan ditopang dari horizon-horizon yang beragam. Semakin luas horizon, semakin luas pula pemahamannya. Keempat, semangat fusion of horizon dapat dikembangkan dalam konteks memahami Alquran dengan menggunakan tafsir maqasid Alquran, sehingga nilai-nilai Alquran dapat selaras dengan waktu dan tempat, shalih li kulli zaman wa makan.

Oleh karena itu, fusion of horizon mendorong para peneliti untuk terus memperluas wawasan, tidak berhenti dalam satu pemahaman yang stagnan. The last but not least, seseorang yang memiliki cakrawala pengetahuan luas akan terbuka dan lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan, termasuk perbedaan dalam memahami teks-teks keagamaan.

Salah satu contoh yang familiar adalah memahami ayat ‘potong tangan’ bagi pencuri. Setelah melalui analisis kebahasaan dan historis yang panjang, dapat ditarik satu benang merah bahwa yang dikehendaki dari hukum tersebut adalah untuk menimbulkan efek jera. Maka penafsir dapat mengaplikasikan ayat tersebut tidak dengan menggunakan hukum potong tangannya, tetapi menarik spirit efek jeranya. Lantas, menyimpulkan bahwa hukuman bagi pencuri adalah dengan dimasukkan ke dalam penjara. Pemahaman semacam ini adalah bagian dari semangat fusion of horizons.

Referensi

Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur`an: Edisi Revisi dan Perluasan. Yogyakarta: Nawasea Press, 2017.

Al-Suyuthi, Jalal al-Din. Al-Itqan fi ‘Ulum Alquran. Beirut: Risalah Publisher, 2008

Rahmatullah. Menakar Hermeneutika Fusion of Horizons H.G. Gadamer dalam Pengembangan Tafsir Maqasid Alquran.  Vol. 3, No. 2, 2017.


Posting Komentar

1 Komentar